Selasa, 11 Juli 2017

Cerita Kakak iparku yang ketagihan dan hamil dariku


DuniaJudi69 - Namaku Kuntadi Priyambada. Aku biasa di pangil Kun. Kedua orang tuaku sudah meninggal, Ketika itu aku baru kelas 2 SMA, Aku terpaksa ikut Mas Pras. Dia adalah anak ayah dari isteri pertama. Jadi aku dan Mas Pras lahir dari ibu yang berbeda. Mas Pras ( 40 tahun ) orangnya baik dan sayang kepadaku, tapi istrinya……… wah judes, dan galak. Ketika Ibuku meninggal, yang mengakibatkan aku jadi sebatang kara di dunia, Mas Pras baru seminggu menikah. Kehadiranku di keluarga baru itu, tentu sangat mengganggu privasi mereka. Rumah kontrakan sempit hanya ada tiga kamar.

Kamar tidur, kamar tamu dan dapur. Aku merasakan sikap yang kurang enak ini sejak aku hadir di situ.“Kun, kamu tidur di kursi tamu dulu, ya…? Atau di karpet juga bisa. Kamu tau kan, memang tidak ada tempat?” Mas Pras menyapaku dengan lembut.”Sama Mbak-mu harus nurut. Bantu dia kalu banyak pekerjaan” Aku hanya mengangguk. Aku tidak begitu akrab dengan Mas Pras, karena memang jarang bertemu. Aku di Jogja, Mas Pras kerja di cirebon. Nengok ibu (tiri) paling setengah tahun sekali. Sambil mengirim uang buat biaya sekolah aku.

Kakak lalu berangkat kerja. Dia adalah sopir truk antar-propinsi. Saat itu aku putus sekolah. Di subang belum keluar, tapi di cirebon belum masuk ke sekolah baru. Sehari-hari di rumah sempit itu menemani kakak ipar yg baru seminggu ini kukenal. Rasanya aku tidak krasan tinggal di “neraka” ini. Tapi mau ke mana dan mau ikut siapa?


Pagi itu aku sudah selesai menjemur pakaian yang dicuci Mbak Yanti. Kulihat dia lagi sibuk di dapur.
“Mbak, saya disuruh bantu apa?” aku mencoba pedekate dengan Mbak Yanti.
“BoCah lanang, bisanya apaaa. Sana ambil air, cuci gelas, piring dan penuhi bak mandi.” Sakit telinga dan hatiku mendengar perintahnya yang kasar. Tanpa ba-bi-bu semua kulaksanakan. Karena tak ada lagi yang mesti dikerjakan lagi, iseng-iseng aku nyetel radio kecil di meja tamu (Kakak gak punya tivi)

“E…malah dengerin radio……….sana belanja ke warung” aku diberi daftar belanjaan. Untungnya aku sudah biasa membantu Ibu ketika beliau masih ada. Aku hidup bersama Ibu sejak kecil, karena ayah sudah lama meninggal. Agak jauh warung itu. Aku tidak malu-malu dan canggung beli sayuran, malah Bu Salamun, yang jual sayur heran, “Mbok, nyuruh pembantunya, to cah bagus. Kok belanja sendiri.” Aku cuma senyum saja. “Ini, Mbak, belanjaannya. Ini susuknya.” Kuserahkan tas kresek dan uang kembalian, tapi Mbak Yanti tetep sibuk marut kelapa. Kutaruh saja tas kresek itu di kursi kayu dekat kompor minyak. Memang kesannya dia baru marah. Padahal aku tidak merasa melakukan kesalahan apa pun. Tanpa disuruh aku ikut mengupas bawang, memetik sayur dan menyiapkan bumbu yang tadi kubeli. “Mau bikin sayur lodeh,to Mbak?”

“Sok tau………..” jawabnya ketus. Dia mulai masak. Aku keluar saja. Ada rasa ngeri deket-deket orang marah. Di luar aku nggak berani dengerin radio lagi. Ingin rasanya aku menangis dan pergi dari rumah ini. Aku duduk di teras rumah melihat orang berlalu lalang di depan rumah. Tiba-tiba aku membaui masakan yang gosong. Tapi aku tidak berani masuk. Takut dibentak istri Mas Pras yang cantik tapi guualakke pol itu.

“Kuuuuuunnn…………..sini” Mbak Yanti berteriak memanggil. Aku bergegas masuk. Kulihat dapur berantakan. Panci sayur di lantai, sayur tumpah. Kursi tempat menaruh bumbu sudah terguling.Bumbu bertebaran di lantai. Dan…. kompor menyala besaar sekali. Untung aku tidak ikut panik dan bisa berpikir cepat.

“Mbaaaakk…kenapa tanganmu?” Kulihat tangannya merah melepuh, Tangan Mbak Yanti sepertinya ketumpahan kuah tapi perhatianku lebih tertuju pada kompor yang menyala besar sekali,. Cepat kuambil keset di ruang tamu, kubasahi dengan air cucian dan kututupkan ke kompor yang menyala itu. Sesaat kemudian kompor itu padam. Cepat kupetik papaya di depan rumah ( padahal itu milik Lik Yanto, tetangga) kubelah pakai pisau. Lalu getahnya kuusapkan ke tangan Mbak Narsih yang melepuh.

“Jangan…nanti sakit….ngawur….aduuuuh,,,” Mbak Yanti menangis dan aku nekad menutup lukanya iu dengan sayatan-sayatan papaya mentah. Luka itu akhirnya tertutup semua dengan sayatan buah papaya. Keliatannya usahaku berpengaruh. Mbak Narsih agak tenang sekarang.
“Sudah dingin, Mbak?” aku menatap dengan iba kakak iparku yang malang ini. Air matanya meleleh. Dia diam membisu sambil menggigit bibirnya menahan sakit. Pasti panas dan perih, aku tahu itu .
“Kun, kita gak bisa makan siang.” Akhirnya keluar suara Mbak Yanti pelan tidak galak lagi .

“Wis Mbak, istirahat saja, masih sakit kan?” kutegakkan kursi yang terguling dan kutuntun Mbak Narsih duduk. Dapur segera kubersihkan. Kompor bisa menyala lagi. Sisa-sisa bumbu yg ada kupakai untuk masak sayur pepaya. Aku sudah terbiasa membantu Ibu, jadi ini hanya suatu kebiasaan. Mbak Narsih hanya melihat aku sibuk di dapur tanpa komentar. Dia terus-terusan mengaduh kesakitan. Tapi aku mendahulukan selesainya pekerjaan di dapur. Sayur sudah masak. Nasi sudah ada. Semua kuatur di meja tamu yang sekaligus menjadi meja makan.

“Mbak, mau makan? Tak ambilin, ya?” Mbak Yanti hanya memandangku dengan mata basah.
“Kun, kamu baik, ya? Terimasih, ya Dik, tapi kedua tanganku melepuh begini, dan ini perutku perih sekali. Kulihat perut Mbak Yanti, Astaga…. Ternyata daster sebelah kiri sudah terbakar dan perut  Mbak Yanti bengkak kemerah-merahan. Aku cari sisa-sisa irisan papaya tadi. Aku parut lembut dan kuparamkan di perutnya. Waktu itu aku tidak berpikir macem-macem, karena perhatianku pada penderitaannya. Dia agak tenang sekarang.

“Ambilkan daster Mbak yang utuh di lemari, Kun. Yang kupakai ini dibuang saja, sudah separo terbakar.”
Aku ambilkan daster pink di lemari lalu….aku berhenti dan termangu di depan Mbak Yanti.
“Ayo, buka daster yang terbakar ini. Tolong diganti dengan yang kamu ambilkan tadi.” Mbak Yanti melihat keraguanku tadi. ‘Pelan, pelan…. Ada yang masih lengket di kulit…ssss… adduuuh”
Akhirnya daster itu bisa kulepas. Baru kali ini aku melihat dengan jelas dan dari dekat, wanita setengah telanjang. Mbak Yanti berkulit putih bersih. Perutnya rata dan…. yang terbungkus di bra hitam itu bulat putih dan besaar. Aku terpesona sesaat.
“Ayoooo….. dingiiin, Kun. Cepat ambil daster pink itu” aku tersadar dari pesona keindahan di depanku segera memakaikan daster itu.

Siang itu aku menyuapi Mbak Yanti. “Enak, Kun, masakanmu. Kamu kok bisa masak, to?”
“Halah, aku Cuma liat Ibu masak dan sering membantu Ibu.” Tapi dalam hati aku bangga memperoleh perhatian seperti itu.

Lik Yanto dan Mbak Saodah, isterinya, datang menengok dan memberi salep dingin. Tiap hari, pagi dan sore aku mengolesi luka-lukanya. Kedua tangan, jari, dan perutnya. Tiga hari aku merawat Mbak Yanti ……. suasana sudah berubah total. Keadaan dia, dua tangannya nyaris nggak bbisa pegang apapun. Telapak tangan melepuh, membuat dia menyadari bahwa saat itu, aku diperlukan, selama Mas Pras belum pulang. Karena tiap pagi dan sore, mengepel tubuhnya, aku bisa melihat dari dekat seperti apa tubuh wanita dewasa itu. Saat aku mengelap tubuhnya, aku jadi tau, bentuk payudaranya yang bulat dan kenceng, putingnya yang coklat dipucuk gunung putihnya, Saat kulepas celdamnya, bisa kulihat bibir bawahnya yang indah berambut tipis.

Pangkal pahanya lebih putih daripada sekitarnya. Memang Mbak Yanti wanita cantik sempurna. Kakakku tidak salah memilih pasangan hidupnya. Mas Pras ganteng, Mbak Yanti cantik. Hidungnya mungil tapi tidak pesek. Runcing indah di atas bibirnya yang mungil. Seperti maudy , tapi tubuh kakakku jauh lebih besar dan lebih tinggi. Tanpa kusadari, aku kok merasa asyik merawat kakakku ini. Pengen nya hari segera sore atau kalau malam ingin segera pagi. Ada kerinduan untuk melihat keindahan itu. Ah, berdosakah aku? Sering aku diam melamun diombang-ambingkan perasaan ingin menikmati tapi juga merasa bersalah kepada Mas Pras.

Setelah tiga hari hanya di lap dan dipel dengan handuk basah., pagi itu dia minta dimandikan dengan air hangat. Kusiapkan air hangat di baskom. Mbak Yanti duduk di kursi kayu, kamar mandi kubiarkan terbuka, agar ruangan lebih luas dan aku bisa ikut masuk mengguyur tibuhnya dan memandikannya. Aku merasakan kehalusan kulitnya saat aku menyabuni tubuhnya. Pahanya yang mulus dan bersih, pundak dan lehernya yang jenjang dan putih. Tadinya aku ragu-ragu untuk menyabuni susunya. Tapi Mbak Yanti dengan “marah” memaksaku menyabuni bukit kembarnya itu.

“Kun, terus saja gosok dan putar-putar di situ, biar bersih.” perasaan sudah bersih banget, kenapa disuruh menyabuni terus. Melihat kemontokannya terasa celanaku jadi sempit.
“Nah. Diputar putar gitu, Kun. Terus dari bawah diangkat sambil digosok.” Mbak Yanti terus member pengarahan. Kusangga payudaranya naik, lalu sedikit kuremas dan kupijit. Mbak Yanti tidak protes, Cuma memandang ke payudaranya yang semakin menggembung montok itu. Apalagi kedua tangannya diangkat naik karena takut telapak tangannya yang luka terkena air, sehingga keteknya yang bermbut tipis itu terbuka lebar. Payudaranya terangkat naik.

“Sekarang, ambil air lagi, diguyur pelan-pelan. Sambil dihilangkan sabunnya.” Kuguyur merata, dan sisa-sisa busa larut ke bawah menampakkan kecerahan kulitnya yang semakin terang. Aku yakin tanpa lampu pun kamar mandi itu akan terang benderang karena kecerahan kulitnya.
“Dikosoki, Kun biar dakinya ilang.” Mbak Yanti mengulang lagi. Mulutku terkatub rapat sambil menggigit bibir, menahan perasaan aneh di hati, kugosok-gosok sisa sisa sabun yang terasa licin itu.
Memang enak rasanya menyentuh daging empuk ini. Aku malah setengah meremas pada ujung-ujungnya. Aku heran kenapa pucuknya keras. kenapa setiap aku remas ujung susunya, Mbak Yanti memejamkan matanya. “Masih sakit, Mbak?” Dia Cuma menggeleng tapi tetap mata terpejam.

“Kun, sudah tiga hari ini Mbak nahan untuk tidak ke WC, tapi perutku sudah sakit banget. Aku mau ke WC, Nanti tolong kamu semprot ya anuku, pakai toler air. Tanganku masih melepuh.” Mbak Narsih jongkok di WC, pintu kututup. Wah, baunya sampai juga di luar. Aduuuh, tugas berat nih, keluhku dalam hati membayangkan kotoran yang baunya saja sudah begitu menyengat. Kupijit hidungku.

“Kun, buka pintu WC dan semprot aku ya” kudengar suaranya dari dalam. Sudah kusipkan air yg kuberi sedikit obat pel yang wangi. Kubuka kran dan kutembakkan “water kanon” itu untuk membersihkan kotoran yang menempel di sana. Lalu Mbak Yanti membalikkan badan, membelakangiku. Pantatnya yang besar dan putih itu terpampang di hadapanku,”Semprot, Kun….!” Aku arahkan dari bawah air itu menyemprot lubang anusnya.

“Sudah bersih belum Kun?” Mbak Yanti nungging, terlihat dua lubang dobel. Berwarna pink semuanya. Ooo, seperti ini bentuk memek perempuan dewasa dari dekat? Celanaku semakin mengggembung.
“Sudah belum? Kok lama sekali lihatnya?” dia protes
“SSssuudah…Mbak, jelas sekali…eeehh bersih sekali” aku jadi salah tingkah dan keseleo lidah.
“Sekarang ambil sabun. Tolong sabunilah biar hilang baunya. Tanganmu gak akan kena kotoranku lagi”
Haaaa…. Menyabuni “ituuu?” Aku kok jadi bersemangat, tapi kusembunyikan kegiranganku itu dengan bersikap senormal dan setenang mungkin. Kugosok anusnya dengan sabun, lalu kemaluannya secukupnya, kemudian kubilas lagi dengan semprotan air wangi tadi..
Pengin-nya aku mau lama-lama, tapi aku malu. Waktu meraba belahan kemaluan Mbak Yanti tadi, punyaku berkedut-kedut hebat seperti mau kencing.

“Kun, kok cepet-cepet, ya nggak bersih dong.” Sergah Mbak Yanti dengan raut marah.”Ayo lagi”
Aku ambil sabun lagi. Lubang duburnya kuusap-usap pelan, dari belakang kulihat bokong putih itu terangkat-angkat saat aku mengusap tadi. Seluruh permukaan bokongnya kusabuni dengan penuh perasaan. O, bersihnyaaaa..ooo putihnya…. Lalu kutelusupkan jariku maju ke “garis” di depan sana. Ternyata jariku “keceplos” ke dalam alur yang basah dan hangat. Di dalam terasa ada keduta-kedut yg menjepit jariku. Seperti aliran listrik, menjalar ke celanaku terasa juga kedutan kedutan liar di yang semakin terasa.

“Terus saja, Kun, teruussss….. nah.. pinter kamu, Kun…” Mbak Yanti menggumam seperti ngomong sendiri. Aku semakin tak bisa menahan kedutan di celanaku. Tak terasa dan tak kusadari, jariku bergerak menusuk semakin dalam ke “sana” seiring rasa yg kurasakan. Ujung jariku terasa menggapai-gapai sesuatu yang menonjol di dalam “sana” dan Mbak Yanti mendesis ; “Aaaaahhhh.. ssssshhh…” mendengar rintihan Mbak Yanti, aku semakin “menderita” karena ada semacam gelombang getaran yang mau menjebol benteng. Jariku bergerak maju-mundur semakin cepat, dan gelombang itu semakin mendekat.”Aaaahhhh…Mbak..”
Bersamaan dengan itu Mbak Yanti juga merintih,”Ahh ssshhh,,,, aku keluaarrrr…oooohhhh”
Aku merasa ada yang keluar di celanaku. Aku ngompol! Padahal aku tidak tidur? Tapi kok enaaak sekali? Tiba-tiba aku merasa malu, takut kalau Mbak Yanti menoleh dan melihat celanaku basah. Mbak Yanti keliatan lemes tapi wajahnya mengekspresikan kepuasan. Setelah kulap dengan handuk seluruh tubuhnya, aku kenakan daster yang bersih. Rambutnya aki sisir rapi. Mbak Yanti diam saja dengan sikap manis. Pagi ini terlihat dia sangat cantik. Sambil menyisir rambutnya, kupandangi sepuasnya makhluk cantik di hdapanku sepuas-puasnya.

Seminggu kemudian Mas Pras pulang. Perban sudah dilepas, tapi tangan jadi belang.
“Kenapa, Sih, tanganmu?” Mas Pras terlihat kuwatir.
“Kompornya meledak. Untung ada pahlawan kecilmu.” Mas Pras mengelus kepalaku. dia tersenyum. Aku jadi bangga campur nalu. Aku khawatir Mbak Narsih cerita kalau aku menyeboki dia. Aku berdebar-debar terus. Untung Mbak Yanti malah cerita kalau aku ternyata pinter masak.
“Dik Yanti, Kuntadi ini juara masak dalam lomba masak di sekolahnya. Dia juga bintang lapangan basket.” Pujian Mas Pras membikin aku semakin malu saja. Meskipun itu memang benar.

Malam itu aku sudah bebas tugas menjaga Mbak Yanti Kecuali tangannya sudah pulih, Mas Pras sudah datang. Jadi biarlah semuanya dilayani oleh suaminya. Aku menjatuhkan diri di sofa kamar tamu disergap rasa lelah luar biasa dan langsung tertidur lelap. Padahal itu baru jam enam sore. Tengah malam, aku terjaga. Sayup- sayup aku mendengar suara orang menangis, tetapi diberangi suara mendengus-dengus….Aku diam mendengarkan. Itu datangnya dari kamar Mas Pras.

Ahhh…rupanya Mas Pras sedang “tempur” dengan Mbak Yanti Aku harus pura-pura tidur lelap. Aku merasa tidak sopan kalau nguping kegiatan mereka. Tetapi mataku tak mau dipejamkan lagi. Aku memang sudah puas tidur sejak petang tadi. sekarang mendengar suara Mbak Yanti nerintih dan menangis…. jadi ingat kejadian di kamar mandi kemarin. Terbayang lagi tubuh Mbak Yanti yang seksi dan putih mulus. wajah cantiknya ketika menangis sambil berkata,” kamu …baiiik… Kun”. Ada perasaan aneh menguasai diriku. Tak ada lagi wanita galak, yang ada wanita cantik yang pernah aku raba seluruh tubuhnya. Beraneka pikiran berkecamuk di kepala mengantarkanku ke alam mimpi indah, bertemu wanita cantik… wanita itu memperliatkan tubuhnya yang telanjang bulat.

Kemaluannya didekatkan ke batangku Dia mendekatkan lubang itu ke arahku lalu memasukkannya ke sana. Suatu rasa yang nikmat menjalari sekluruh pori-pori kulitku dan…….ketika terbangun celanaku basah.
Tak terasa sudah dua bulan aku ikut Mas Pras. Beliau masih sering tugas luar kota. Kali ini beliau ada di cirebon selama dua bulan. Gaji hanya dititipkan kantor. Aku sering disuruh Mbak Narsih mengambil gajinya di kantor Mas Pras. Meskipun Mbak Yanti sudah baik, tapi sifat judesnya tak mau hilang. mungkin sudah pembawaan. Wah…. Kalau memerintah… harus dilaksanakan tanpa protes.

Aku membuat kelalaian sedikit saja, bisa dia “menyanyi” sepanjang hari. Maka aku harus hati-hati kalau ngomong atau bertanya sesuatu. Aku harus membereskan semua pekerjaan di rumah, baru aku berani keluar untuk maen. Paling suka aku ke lapangan maen sepakbola dengan anak-anak tetangga pada sore hari. Kalo pagi aku suka “menghilang” di rumah Oom Yanto tetangga depan rumah untuk baca Koran atau majalah. Bulik Saodah cukup ramah. Dia mengerti kalo aku sedang “mengungsi” di situ, Aku sering curhat kepada Om Yanto dan isteriya tentang perlakuan Mbak Yanti
“Kenapa ya, makin hari Mbak Yanti makin sering marah-marah tanpa tahu sebabnya?”
“Sabar dan cuek saja. Mungkin dia jengkel karena Mas Pras nggak pulang-pulang.” Om Yanto mencoba menganalisa. “Maklum kan manten anyar?”

“Dia tidak marah sama kamu Dik Kun,” Bulik Saodah menambahkan, “ tapi sama keadaan rumah yang membosankan. Dia butuh hiburan, penyegaran.” Aku sedikit memahami penjelasan mereka.
“Dik Kun saya nilai anak yang baik, lho. Jaman sekarang, hampir tidak ada anak laki-laki yang bisa trampil ngurus pekerjaan rumah tangga.” Bulik mencoba memberi support dan aku merasa terhibur.
Meskipun aku di rumah Om Yanto, tetapi aku selalu mengawasi keadaan rumah. Supaya kalau sewaktu-waktu dicari, aku sudah siap datang. Terlambat sedikit, bisa pecah kemarahannya.

Jam satu, saatnya makan siang. Aku harus pulang, menyiapkan meja makan. Memang aku merasakan, sepertinya aku ini bukan sebagai adiknya Mas Pras, tetapi lebih sebagai pembantu rumah tangganya Mbak Yanti Tetapi sampai di rumah, aku melihat piring kotor dan gelas kosong di meja makan. Sayur juga sudah ada di meja makan. Berarti Mbak Yanti sudah makan. Tetapi kok nggak ada. Aku menengok ke kamar tidurnya, tidak ada. O, pasti di kamar mandi. Ya, sudah aku makan sendiri saja. Baru satu sendok aku makan, terdengar suara dari kamar mandi, “Hooeeeek……” Aku berhenti makan dan berdiri bimbang, harus apa aku? “Hoooeeeek….” O, mungkin ini tanda Mbak Yanti hamil. Aku mendekati pintu kamar mandi. “Sakit, Mbak?” “Hoooeeeek…” itu jawabannya.

Aku mencoba mengetuk pintu kamar mandi yg terbuat dari seng itu, ternyata tidak dikancing, Kriiiit… terbuka dengan sendirinya. “Kun, aku mual banget.” Aku masuk dan menggandengnya keluar. Kududukkan di kursi ruang makan. Dia lalu merebagkan kepalanya di meja makan. Lemas. Badannya basah kuyup keringat dingin. “Sudah makan, Mbak?” sebetulnya aku nggak perlu Tanya, jelas baru saja dia makan dan habis banyak. Itu bisa dilihat dari sisa nasi di tempat nasi. “Sudah. …..Kun….bawa aku ke tempat tidur.” Lirih suaranya. Kupapah jalannya ke kamar. Satu tangannya di pundakku. Satu tanganku di pinggangnya.

Kurebahkan pelan-pelan tubuhnya dan kuberi bantal yang agak tinggi.
‘Kamu kok lama sekali di rumah Mas Yanto. Enak di sana ya?” pelan suaranya, tapi terasa menusuk perasaanku. Aku merasa bersalah.
”Aku …aku cuma baca-baca koran kok Mbak. Di rumah kan nggak ada bacaan.”
“Aku tau Kun” Mbak Yanti meraih tanganku disuruh duduk di tepi tempat tidur. “Mbak Yanti galak, kan?” Aku benar-benar jadi kikuk. Mau ngomong apa? Mau bilang tidak, nyatanya memang dia galak. Mau bilang nggak, pasti dia tau kalau aku bohong.

“Aku cuma takut saja, Mbak, kalau pas marah.”
“Maafin Mbak, ya Kun. Aku merasa sendirian kalau kamu pergi main atau kamu begitu krasan di rumah Mas Yanto.” Mbak Yanti menarik diriku hingga mukaku jatuh ke wajahnya. Diciumnya bibirku.
Lidahnya memaksa mulutku untuk terbuka. Di kulumnya bibirku. Aku gelagapan, tapi aku tidak berusaha menghindar. Rengkuhan tangannya begitu lembut penuh kehangatan. Kita berdua berciuman beberapa saat. Mula-mula aku pasif tapi lama-lama aku bisa mengikuti caranya. Lidanya pun kadang kusedot. Karena aku tidak bisa benafas aku mencoba melepaskan diri.
“Kun, …… jangan tinggalkan Mbak sendirian” matanya sayu dan mengiba. Sama sekali tidak terlihat galak dan judesnya. Sungguh penampilan yang sangat berbeda.

“Bisa pijit aku ya Kun, biar agak enteng mualku?” pintanya sambil memegang erat kedua telapak tanganku. Tatapan matanya menyihirku untuk mengangguk. “Pintunya ditutup dulu, nanti ada kucing masuk” Aku segera menutup pintu depan. Memang kucing putih punya tetangga sudah dua kali membongkar tudung saji di meja makan. Aku kembali ke kamar sambil membawa obat gosok.

“Gak usah pake minyak itu. Panas. Dipijit saja pelan-pelan. Lututnya dinaikkan dan roknya melorot ke pangkal paha. Kini nampaklah pahanya yang putih itu. Kupijit lututnya pelan-pelan. Aku tidak berani pegang pahanya. Tetapi dia malah menarik roknya lebih ke atas dan menyuruh pijit pahanya. Aku pijit dengan ragu-ragu. Telapak tanganku merasakan kulit Mbak Yanti begitu hangat. Pijatan-pijatan ku menjadi tidak terarah, karena saat kulirik ke atas, di pangkal paha itu….. tak ada secuil kain pun menutupi kemaluan Mbak Yanti. Keringat bermunculan di wajahku, mataku jadi terasa panas. Gigiku gemeletuk seperti kedinginan. Aku heran, kenapa aku ini. Apa aku ketularan sakitnya Mbak Yanti.

“Mijitnya pindah ta, Kun. Kok di situ terus. Paha yang satunya.” Sambil bilang begitu dia mengangkat pantatnya dan melolos roknya lepas. Kini tubuhnya bugil-sebugil-bugilnya. Tanganku dipegang dan dituntun ke garis di tengah tenpiknya. Aku menurut saja. Kuurut-utur bibir bawahnya yang segera basah dan terbuka sendiri. Kulihat cairan bening mengalir. Tubuhku semakin gemetar dan rasanya ingin sekali aku kencing. Kemaluanku mengeras sehingga seperti terjepit rasanya.
“Mbak, aku mau pipis dulu….” Aku memberanikan diri memohon.

“Sini, sini, aku lihat. Apa kamu benar-benar mau pipis.” Diturunkannya celanaku dan dikuakkan CD-ku ku samping, sehingga batangku yang sudah sekeras pentungan satpam itu teracung. Aku malu sekali. Tapi aku juga ingin benda itu dipegangnya. Dibelai-belainya “helm”ku dengan lebut. Segera gelombang kenikmatan mengalir seperti listrik ke pusat syarafku. Tangan kiriku masih di lubang tempiknya dan terus mengorek-ngorek di kedalamannya. Kurasakan dinding-dinding lembut yang hangat dan basah itu berkedut-kedut. “Mbak…Mbak…aduuuuh sudah Mbak…aku mau kencing Mbak…”

Dilepaskannya kemaluanku dan menurun pula irama gelombang itu, Anehnya, aku merasa kecewa, ingin dipegang tangan Mbak Yanti lagii. Aku melihat susu yang begitu montok dan putih menntang dan didorong oleh nafsu yang sudah mendidih, kuremas dan kuelus bukit kembarnya. Aku lupa diri. Malahan tanpa disuruh aku mengulum ujung susunya yang kemerah-merahan itu. Kiri, kanan, kiri lagi. Mbak Yanti menggelinjang dan mendesis. “Enak Kun….yang kanan Kun…”
“Terusss…Kun, kamu pinter yang kiriiii……terussss…. Dipijit-pijit terus…”
Entah kapan aku melepaskan pakaianku, tau-tau aku sudah tak berpakaian lagi. Aku berdiri di samping tempat tidur. Mbak Yanti menyorongkan lubangnya di depanku. Pahanya dinaikkan di pundakku. Terasa berat kakinya bagi tubuhku yang masih kerempeng.

“Kun, aku dah terangsang banget lihat punyamu ,….besar juga kun …memekku udah gatel kun ….masukkan ke situ,,,,,cepat…kun….aku sudah nggak tahan…”sleeeppp….bbleezzz….masuklah batang senjataku kedalam memek mba yanti ,,,aacchhh….aachhhh  nikkmmaattt  sayaangggggg…….
Aku kagum melihat punyaku bisa sebesar dan sepanjang itu. Belum pernah kulihat sebelumnya. Sepertinya hari ini sudah berubah jadi naga raksasa. Kudorong pelan-pelan kerah lubang Mbak Yanti yang putih kemerahan itu. Pertama kali menyentuh bibir bawahnya, aku merasakan kenikmatan yang belum pernah aku rasakan. Geli tetapi enak. Makin ke dalam semakin hangat dan nikmat. Tak kuhiraukan rintihan Mbak Yanti, dia menangis seperti malam-malam dulu ketika bersama Mas Pras.

“Kuuuuunnnnn……. tusuk yang dalam…..dalam….dalam….ahhhhh”plok…plok…plok….suara himpitan memek mba yanti begitu jelas
Kini gemeretak gigiku sudah hilang, tetapi keringat membanjir luar biasa. Demikian pula Mbak Narsih, sprei jadi kusut dan basah kuyup. Diputar-putarnya pantatnya, sehingga aku makin kesetanan menusuk. Mbak Yanti terus duduk dan aku diberi dua bola bulat putih untuk kupetik dan kukulum.

Tapi aku tidak kuat menahan beban tubuhnya. Kujatuhkanlah dia ke kasur, lalu aku naik. Setan sudah menguasaiku. Mbak Yanti kini telentang, wanita cantik yang galak dan judes itu, kini menyerah di bawah sana. Kedua pahanya yang mulus dan putih kubentangkan, sehingga kemaluannya semakin terbuka. Sambil berlutut kusodokkan lagi senjataku ke sana. Terasa lebih dalam sekarang, karena ada ruang yang lebih bebas. Terdengar suara crop crop…plokk…plok.. crop, seperti memompa dengan kelep yang basah. Wajahnya yang cantik itu menyeringai jadi jelek karena menahan rasa nikmat yang luarbiasa . aachhhh  kuunnn   nikkkmaattt sayaannggg…….terus sayanggg tusuk memekku sayanggg……aku udah gak kuatt,,…Mulutnya menganga, matanya menatap liar.

Hossss…..husssss…hhhhh…..napasku dan napas Mbak Yanti seperti seperti nafas orang berlari mendaki bukit. Makin cepat gerakan maju-mundurku semakin memuncak terasa gelombang datang bergulung-gulung berusaha menjebol benteng pertahanan. Mbak Yanti mengangkat pantatnya, tangannya menekan kuat-kuat pantatku sehingga batangku tertancap dalam-dalam di lubang kenikmatan itu saat pertahanku jebol. Mbak Yanti juga sama, cengkeraman tangannya di pantatku begitu kuat seakan kuku-kukunya tertancap di dagingku.aacchhh……aacchh….
“Kuuuunnnn……………akuuuuuuuuu……keluar…..”
“Mbaaaaaakk……..oooohhhhh……aku jugaa mbaaaaaaa..” berapa kali senjataku memuntahkan peluru aku tak sempat menghitungnya. Croott….croott….ccrroooroot.tt…….accchhh…………aku terkulai di perut Mbak Yanti.
Keadaan jadi sunyi sekarang. Kupeluk kakak iparku. Dia pun memelukku bagaikan seorang ibu memeluk bayinya di pangkuannya.

Badanku memang terlalu kecil dibandingkan tubuhnya yang bongsor,makasih ya sayang kamu udah muasin mba ,…kamu bener-bener perkasa.
Mulai saat itu secara teratur aku diberi” jatah harian” di saat-saat Mas Pras tidak ada di rumah. Kalau sifat galaknya kambuh itu tanda Mbak Yanti “minta”di sodok punyaku,. Benar kata Bulik Saodah, Mbak Yanti kesepian dan haus minum “es lilin”

Dalam kisah sebelumnya aku telah menceritakan perubahan hidupku yang drastis setelah kematian ibuku. Aku terpaksa ikut Mas Pras saudara semata wayangku, sebagai pengganti kedua orangtua ku yang sudah tiada. Aku harus beradaptasi dengan isteri Mas Pras yang judes dan galak. Karena kepepet aku berusaha bertahan di “neraka” itu, tetapi karena kompor meledak dan besarnya senjataku itu pula Mbak Yanti, kakak iparku itu akhirnya mau menerima keberadaaanku.

Kebetulan saja aku sebagai anak laki-laki punya keterampilan memasak yg diwariskan almarhumah ibuku. Dari kenyataan itulah Mbak Yanti tidak lagi menganggapku “cah lanang isane opo”
Saat-saat yang selalu teringat dan terukir mendalam dalam hatiku adalah kemesraan sesaat yang kurasakan ketika merawat Mbak Yanti. Pribadi yang keras dan menakutkan itu suatu saat berubah menjadi seorang yang sangat lembut yang membutuhkan belaian dan kasih sayang. Rasanya aku sedang bercumbu dengan singa betina yang setiap saat bisa menjadi ganas dan mematikan. Ada rasa takut bercampur nafsu birahi yang berkobar.

Sifat dan watak Mbak Yanti itu sudah mendarah daging, merupakan sifat bawaan, tak kan pernah berubah selama hidupnya. Jika dia baik dan lembut itu hanya sesaat, seakan-akan “lupa”. Dalam keadaan normal, watak aslinya itu keluar dan itu berarti aku kembali hidup dalam suasana terror mental. Sedikit saja kesalahan yang aku buat, sengaja atau tidak. Pasti dia marah.

Cuci piring tidak bersih apalagi cuci gelas, mudah sekali ketahuan kalau tidak bersih. Gelas tidak boleh bau amis atau bau sabun. Kalau itu terjadi, semua gelas di rak diturunkan dan dicuci ulang semuanya, SENDIRI. Mulutnya ngomel menyindir dan memakai ungkapan-ungkapan yang menyakitkan perasaan.

saat-saat manis bersama Mbak Narsih. Saat dia minta dicumbu. Kubayangkan matanya yang redup dan rntihannya yang “memilukan” saat memperoleh kenikmatan dariku. Rasanya tidak mungkin beliau bisa bersikap sekasar itu saat ini. Sampai jauh malam mata tak bisa dipejamkan. Kuingat tadi siang saat aku “pura-pura”belajar ( karena semua pekerjaan sudah diberesi) aku sempat melirik sebentar Dalam situasi dimarahi, aku merasa hidup sendiri.

Bahkan saat ada Mas Pras pun, Mbak Yanti tetap “menyerang”. Seakan Mbak Yanti mencoba menunjukkan bahwa aku “tidak beres” kerjanya. Sayang, Mas Pras termasuk kelompok sukutri (suami takut istri). Di situlah hidupku benar-benar tertekan. Anehnya, di saat seperti itu pula, aku teringat atau suka mengingat mandi di luar kamar mandi, karena kamar mandi dikuras. Dia hanya pakai kain panjang untuk basahan. Meskipun aku takut sama galaknya, tapi tergoda juga untuk melirik menikmati kemulusan kulitnya. Putih mulus tertimpa temaramnya sinar matahari dari genteng kaca.

Dia menyabuni payudaranya yang bulat dan mulus itu dengan bebas, seakan-akan hanya dia saja yang ada di rumah ini. Membayangkan penampakan siang tadi dalam kesunyian pekatnya kamarku, tak terasa mulutku berbisik litih. “ Oh, Mbak Yanti …”
Aku tidak habis mengerti, kenapa di setiap saat beliau marah-marah, cara duduknya atau cara berpakaiannya di rumah seenaknya sendiri. Kalau tiduran di sofa, pahanya dinaikkan di meja tamu, dibiarkan tersingkap lebar. Aku berjalan menunduk saja saat menuju kamarku.

Aku tahu Mbak Yanti mengamati langkah-langkahku sampai aku masuk kamar. Suasana diam yang mencengkam Siang itu seperti biasanya sesudah mengangkat semua jemuran, beliau tidur siang. Kamarnya tidak ditutup, sehingga hampir seisi tempat tidur itu terlihat jelas dari luar kamar. Meskipun tertutup kelambu, aku tahu beliau tidak mengenakan pakaian apa pun. Cuaca sekarang  memang panas. Kelambu hanya untuk menghindari nyamuk saja. Dulu Mas Pras belum punya kipas angin. Terlalu mewah untuk kehidupan waktu itu. Dengan cara demikian mungkin beliau merasa nyaman. Sambil makan siang berkali-kali aku mencuri pandang kea rah kamar. Nasi dengan sup yang begitu banyak kuah terasa susah ditelan . Konsentrasi makanku terpecah, selera makan jadi hambar.

Aku terlalu dini untuk mengalami pengalaman sex orang dewasa. Sehingga aku ketagihan untuk terus merasakan lagi. Aku berharap Mbak Yanti membuang guling yang dipeluknya, biar kulihat bukit kembarnya yang putih dan kemaluannya yang merah jambu dan basah itu. Seperti tahu yang aku inginkan, Mbak Yanti sekarang melepaskan gulingnya dan menjepitnya dengan kedua pahanya. Sehingga terlihat jelas apa saja yang tadi ingin kulihat. Susunya berdesakan terhimpit kedua tangannya. Pahanya terbuka karena terganjal guling dan mataku tak lepas memandang hutan lebat yang kurindukan itu. Lama sekali sendok terhenti di depan mulut tak segera kumasukkan.

Aku menelan ludah. Hilang nafsu makan. Rasanya seperti ada yang menarikku untuk mendekat ke pintu kamar yang terbuka lebar itu. Agak menyamping aku melihat ke dalam, menghindari pandangan Mbak Yanti kalau tiba-tiba beliau terbangun. Aku berjingkat mendekati dinding sebelah kanan pintu. Pemandangan indah semakin jelas. Seandainya saja, kelambu itu tak ada, pasti kemulusan kulit nya akan semakin nyata. Kuberanikan diri melongokkan sedikit kepalaku melihat ke dalam. Mbak Yanti mendengkur halus. Enak sekali tidurnya. Ah, wajah yang sangat cantik. Alisnya yang hitam tebal jadi semakin indah jika matanya terbuka.

Kakak iparku ini memang mirip sekali dengan Cici Faramida. Saat tertawa, barisan giginya yang rapi dibalik bibirnya yang tipis menambah kecantikannya. Aku tak tau sebabnya, kenapa tubuhku menggigil. Gigiku gemeletuk seperti kedinginan. Degup jantungku semakin kencang . Mukaku terasa panas. Ada dorongan yang sangat kuat tak tertahankan untuk terus mendekati tempat wanita cantik itu pulas tertidur. Napasku memburu. Batangku sudah menegang sejak masih di meja makan tadi, kini semakin mengeras saja.

Ketakutanku akan sikap galaknya dikalahkan dengan berkobarnya nafsu remajaku. Pelan-pelan kutarik kelambu sialan yang menghalangi pandanganku. Srrrrrttt! Pelan dan halus kutarik. Lagi, srrrrtttt! Nah, sekarang lebih jelas. Oooohhh…. Putihnya……tubuhnya yang mulus itu indah sekali. Tak terasa mulutku berbisik lirih, “Ohhh Mbak Yanti …….”
Aku kaget sendiri mendengar suaraku itu. Lebih terkejut lagi saat kudengar suara Mbak Yanti, seperti orang mengigau, “Kuuuun, sini!” Aliran darahku seperti berhenti. Aku jadi takut sekali. Tapi aku juga penasaran, jangan-jangan aku salah dengar.

Mau keluar dari kamar sudah terlambat. Aku hanya berhenti terpaku dengan kaki menggigil. Takut sekali. Benarkah dia memanggil aku tadi?
‘Sini……….jangan berdiri saja.” Matanya masih terpejam, tapi jelas kulihat mulutnya bergerak.
“Kamu sudah pengin……….Kun…….” Mbak Yanti memiringkan tubuhnya membelakangiku. Dari nadanya sepertinya dia tidak marah. Berkurang sedikit ketakutanku. Tapi aku tetap diam di samping tempat tidurnya.

“Kuuuunnnn……..” sekarang suaranya lebih keras, tapi posisinya masih memunggungiku. Kuperhatikan bongkahan pantatnya yang bulat. Putih mulus. Agak ke bawah kulihat warna hitam bersembunyi di balik nya. “Ayoooo Kuuun……tunggu apa lagi.” Kini aku yakin dia memanggilku.

“Ya, Mbak…….…..” senang sekali aku disapa kembali. Aku merasa bahagia dan damai. Kuberanikan diri mendekat dan duduk di pinggiran kasurnya. Mbak Yanti masih diam. Tanganku sudah gemetaran ingin menyentuh pantatnya. Kusentuh pelan dan kurasakan hangaaaat sekali kulitnya. Kuelus pahanya sambil kutunggu reaksinya. Masih tetap diam. Tapi tidak ada penolakan. Kuelus pahanya yang putih mulus itu dan kurasakan bulu-bulu lembut halusnya. Kehangatan kulitnya sangat terasa mempengaruhi diriku.

Aku jadi gerah sekali dan ingin membuka baju. Kulempar keluar saja bajuku dan jariku kembali beraksi. Kini kuberanikan diri menuju sudut htam di arah bawah pantatnya. Aaahhh…… kenapa basah sekali? Ujung jariku masuk pelan-pelan ke lubang yang hangat dan licin itu. Makin ke dalam semakin panas. Kudekatkan mukaku untuk melihat lebih jelas bagian yang paling menarik itu. Inilah yang selalu terbayang dalam kesendirianku. Kini terlihat nyata dalam jarak sangat dekat. Bau yang khas dari bagian ini merangsang nafsuku semakin berkobar.

Timbul keberanian untuk menarik tubuh molek yang sedari tadi diam dan pasif itu. Kutarik pahanya, ke arahku sehingga tubuh molek itu kini terlentang, Lubang kenikmatan itu merah merekah dengan daging merah jambu yang mungil menonjol di atasnya. Kusentuh lembut daging aneh itu dengan lembut. Dia menggeliat. Kusentuh kagi, menggeliat lagi. Kulihat mukanya mendongak disertai desisan halus “ Sssshhhhh….”
Ketika itu aku belum punya pikiran untuk menjilat benda itu. Belum pernah kulihat film BF atau gambar porno. Aku terlalu lugu saat itu. Jadi melihat tempik wanita dewasa, merupakan sesuatu yang baru, sangat mengasyikkan. Aku “bermain-main” dengan klitoris nya yang semakin membesar itu.
Begitu dekatnya mukaku ke lubang itu sehingga napasku yang panas terasa oleh Mbak Yanti Tiba-tiba tangan Mbak Yanti menekan kepalaku. Hasilnya mulutku dan bibirku bersentuhan dengan “bibir”nya. “Kuuuunnnn………..pakai lidahmu saja……oohhhh”
Kujilat memek Mbak Yanti. Sama sekali aku lupa bahwa lubang itu biasanya untuk kencing. Rasanya asin, tapi membikin ketagihan. Semakin dalam lidahku menjilat, geliat tubuhnya semakin menghebat. Aku jadi bersemangat.

“Kuunnn…. Itilku……itilku…..jilat terus…..” kujilat daging merah itu dengan rakus. Seprei jadi kusut carut marut karena diacak-acak oleh gliatan tubuh nya yang semakin liar. sampai tiba-tiba badan Mbak Yanti menegang, pantatnya diangkat dan….. cairan hangat menyemprot dari lubang itu. Seperti susu cair yang hangat. Hidung dan mulutku basah. “Aaaaahhhh……..Kuuunn………” suara itu begitu merdu terdengar di telingaku.

Kini Mbak Yanti duduk matanya sayu memandangku. Aku yang biasanya takut bertatapan mata, kini kutatap juga matanya. Kukagumi matanya yang lebar dengan bulu mata yang melengkung indah. Tak ada kesan galak sama sekali. Mata indah itu, mata Mbak Yanti yang sbekumnya menakutkan. Aku merasa diajak berdamai. Aku bahagia sekali.

“Kenapa kamu panggil namaku, Kun?” dia bertanya lembut. “Kamu kangen….ya Kun?”
“Maafkan aku ya Mbak….aku sering buat Mbak marah…” wajahku ditariknya mendekat. Aku dicium.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Bibir Mbak Yanti mengulum bibirku. Lidahnya terjulur menerobos bibirku. Kusedot dan kurasakan basahnya mulutnya. Aku berciuman dengan cara yang belum kukenal. Anehnya aku merasa bahagiaaaa… sekali.

Tanpa kupikirkan sebelumnya, tanganku sudah meremas bukit-bukit empuk yang menempel hangat di dadaku. Kucari ujungnya yang mulai mengeras itu. Kuremas lembut . Setelah bibir kami lepas, bibirku mendapat sasaran baru. Ku sedot putting itu seperti bayi netek. Tangan Mbak Yanti membelai rambutku. Matanya tak lepas dari susunya yang sedang kuhisap itu. Bila susu kiri aku hisap, maka yang kanan kuremas-remas. “Terusss….oohhh…”
Sambil menikmati sedotanku, tangan mbak Yanti melepaskan celanaku dan memegang batangku.
“Keras sekali…Kun…gede banget kun.” Dia berbisik mesra.” Iiiiih.. panjang banget.”
Kulihat ke bawah, jari-jarinya yang putih itu mengelus-elus batangku yang hitam. Ujung “helm” itu disentuh-sentuh lembut membuat aku belingsatan.

“Aduuuuu ….Mbak…..aku nggak kuat” gelombang dahsyat bergulung-gulung datang. Seperti tak mendengar rintihanku, gerakan tangannya malah semakin cepat. Saat pertahananku hampiir jebol, dia berhenti. Ada rasa kecewa tertahan. Kenapa berhenti. Kulihat Mbak Yanti mengamati batangku dengan gemas. “Ditempelkannya ke wajahnya yang ayu dan putih. “O, seperti ini, hmmmmahhh.
Kamu memang nakal, Huuuhh…..” dipukul-pukulkannya kemaluanku ke hidungnya, ke pipinya. “Ooohhh besar sekali.!” Aku sendiri heran, kenapa tongkolku bisa sebesar dan sepanjang itu.

Wajahnya memerah dikuasai nafsu birahi yang tinggi. Tak kukira sebelumnya, beliau mau menjilati “kepala” helm yg kini memerah itu. Urat-urat di sepanjang batangku menjadi bertonjolan dan berkedut-jedut. Mata beliau semakin liar dan…… hap….dimasukkannya seluruh batang itu ke mulut beliau yang terlalu indah buat tongkolku yg hitam itu. Dikulum keluar masuk sampai batangku basah. Air liur bening membasahi “helm” ku. Beliau mendorong lembut tubuhku hingga aku terjerembab ke kasur.Mataku tak lepas memandang kagum dan heran dari aktifitas mulut wanita cantik ini.

Tak terlukiskan nikmatnya…… Puas “makan” lontong hitamku, kini beliau jongkok dan memegang batangku diarahkan ke lubang kenikmatan yang sudah amat basah itu. Cairan putih memenuhi bibir tempiknya yang putih itu. Begitu gagah batangan ku memasuki lubang sugawi. Tangan beliau mengarahkan dan menggosok-gosokkan “helm” itu ke “kacang” ajaib disertai desisan kenikmatan…Ssssshhhh……mata beliau konsentrasi penuh ke sana dan……. blessss …sleep……….aaahhhh…….hampir bersamaan aku dan beliau mengerang, meraskan “penderitaan” yang sama. Badanku tampak kecil dibandingkan pantatnya yang super lebar. Bibir memeknya merekah lebar diterjang benda panjang hitamku.

Mbak Yanti aktif menarik maju mundur semakin lama semakin cepat.plokk….plokkk…plokkkk,,,….achhhh Kadang-kadang beliau mendongak menahan rasa nikmat yang melanda syaraf-syarafnya. Kadang diputar-putar pantatnya, menimbulkan denyutan-denyutan yang luar biasa nikmat. Oh…Mbak……terus Mbak……enak sekalii….ooohhh……mba yanti sayaanngggg…aachh……
“Enak….Kun…….adddduuuh……Kun……punyamu kok bisa gede begini….memekku gak muat kunnn……aacchhh  nikkmmaaattt…sayyaaaaanngggg……..ssshhhh……sssss……” terus menerus kata-katanya tak berhenti…..seperti bicara tanpa kesadaran…..

Gerakannya semakin liar dan semakin cepat. “Aahhhh…..oohhh…..uuuuu……” beliau menangis sambil menambah kecepatan gerakannya. tongkolku jadi sakit karena terlau tegang dan panas. Tiba-tiba semua gerakannya berhenti dan……serrrrr…ccrraaattt,….ccrraaaattt,,,,,croootttt. Cairan hangat membanjiri kemaluan dan perutku……Beliau melepas batangku dan terguling ke sampingku. “Aku….le….mes…..ba….nget….Kun…makasih sayanggg  kamu udah muasin mbaaa,,,,,,kontol kamu nikmattt sekali sayaaanggggg.”

Meskipun kecewa karena aku belum puas, melihat wajahnya yg kuyu dan lemas, aku iba.
“Kesel…Mbak……” kuelus wajahnya dengan penuh perasaan. Saat itu aku merasa sayaaaaaang sekali pada wanita yang galak itu. Kucium pipinya, dan…..kuberanikan mencium bibirnya. Kami berciuman mesra sekali. Direngkuhnya badanku, kini aku rebah di atas badannya yang licin bermandi peluh. Cukup lama kami berciuman sampai tangan beliau mencari-cari batangku dan diarahkan ke lubang itu lagi. “Masukkan…..saja, Kun…..aku mau lagi….memekku masih gatal sayang pengen di masukuin punyamu…………..”
Dalam posisi bersimpuh kumasuki lubang kenikmatan itu…..slleppp….blezzz……aaachhhh Kulitnya yang basah oleh peluhm menjadi berkilat dan keliatan indah sekali. Kamar yang agak gelap itu menjadi terang oleh pantulan cerahnya kulit putihnya. Aku terangsang sekali. Pelan-pelan aku gerakkan maju dan mundur. Lubang itu agak kering sekarang. Merasa tidak nyaman.

Aku cabut keluar dari lubangnya. Aku bermaksud berdiri di samping kasur. “Kuuuun…..kok dilepas…….ayo…masukin lagi sayaannggg….” beliau merintih memohon. Biasanya dia main perintah dan harus dipatuhi, sekarang singa betina itu merintih memohon. Aku tidak menjawab, langsung turun sambil menyeret kedua kakinya ke tepi pembaringan. Kubentangkan lebar kedua pahanya. Pangkal pahanya tampak merekah menantang. Aku sengaja tidak segera memasukkan tongkolku, aku ingin dengar rintihannya, jriku mempermainkan daging itilnya saja.

“Kuuuun….. ayo…..jangan main-main itu….. cepet masuk…masuk…ooohhh….” Puas aku mendengar rintihan beliau. Kuarahkan batangku ke lubang itu dan……blessss…sleepppp…….aachhhh….Ternyata lubang itu kini sudah basah lagi. Beliau mengangkat tinggi-tinggi kakinya sehingga tanganku terbebas tidak menyangga lagi. Kini aku raih kedua bukit kembarnya yang terpantul-pantul karena goyongan tubuhnya yang kusodok-sodok.

“Enaaak….Kun…..Enak…ya…sayaanngg,konntoooolll kaamuu geedeeee..Kun……?” mulutnya terus nyerocos tapi matanya terpejam.
Aku bergerk maju mundur dengan irama pelan. Kunikmati setiap gerakan. Kurasakan makin pelan aku menggerakkan, tongkolku terasa digigit atau dijepit oleh “bibir” beliau.

“Kun cepet… sing jeroooo……oooh…..oohhh……sing jeroo  sayaaanggggg…..”
“Iya…Mbaaaaakk……..ini….Mbak….slepppppppppp  blezzzzzzzz… aaaahhh…..”
Udara kamar terasa semakin panas. Keringat sudah membanjir…..nafsu sudah sampai kepala.
Kupercepat gerakan, makin lama makin cepat dan tusukan semakin dalam.

Plak plak plak….kreet….kreeet…..suara daging beradu dan kerenyit tempat tidur mengiringi tarian birahi aku dan beliau. Jepitannya semakin kenceng dan denyut-denyut diujung kemaluanku semakin terasa….”Mbaaaaakkkk….iki….piyeeeee…… addduuuh…..” Aku sudah sampai di ujung perjuangan.

“Tungguuuu……akuuu….ke….lu….ar……Kunnnnn.” keluarin di mana mbaa?....di dalam aja kunn…biar hamill.Pantatnya berputar liar dan tangannya mendorong pantatku sampai mepet . Crooottttzz…crooot…crooottt…Seeerrrr. Kami mencapai klimax bersama.
Kupeluk Mbak Yanti. Kurebahkan kepalaku di atas susunya yang empuk.
“mBaaak….. aku sayaaaang sama Mbak Yanti.”

Mbak Yanti tidak menjawab, tetapi ganti memeluk erat tubuhku. Tanpa memepas senjataku dari memek mba yanti,Aku berharap semoga beliau tetap seperti ini. Tidak marah-marah lagi. Tetapi aku menyadari kenyataan seperti orang bilang watuk bias mari lamon watak kapan marine,Dalam serial sebelumnya, , sudah tau bagaimana watak Mbak Yanti. Mudah marah, perfeksionis dalam urusan kebersihan rumah tangga, dan sekarang baru aku tau, kalo beliau itu juga eksibisionist, suka menggoda dengan memamerkan tubuhnya yang seksi. Meskipun sifatnya itu hanya di dalam rumah saja.


Sudah sebelas hari Mas Pras belum pulang. Selama itu pula aku bersikap sangat hati-hati, tidak ingin kena marah lagi. Aku ingin memelihara suasana damai dengan Mbak Yanti. Setelah kejadian “santap siang” itu sikap beliau baik. Tapi aku tetap hormat dan takut. Beliau juga tak pernah bicara soal itu. Seolah-olah tak pernah terjadi. Aku tidak berani lagi mengintip-ngintip. Aku tau diri dan berusaha menghormati Mas Pras. Aku juga sudah kepengin ketemu Mas Pras. Beliau janji mau mencarikan aku sekolah, sudah 3 bulan aku tidak bersekolah.

“Masmu kok belum pulang ya Kun?” matanya memandang ke pintu. Keliatan kalo beliau sudah kangen sekali kepada suaminya. Lampu Petromax semakin redup, butuh dipompa lagi. Aku menurunkan lampu itu dan memompanya. “Sudah sebelas hari, Mbak.” Jawabku sambil memompa lampu menjadi semakin terang lagi.

 dah lama yan kun…aku kangen kun,..kan udah ada aku mba,,,sembarangan kamu,,…ntar tak bilangin masmu lho…
“Siapa takut, Mbak. Ini, aku berani maju.” Aku mendekat lagi bahkan lebih mepet.
Mbak Yanti tersenyum geli melihat sikapku. “Uuuu….cah nakal. “ dipijitnya hidungku dengan gemes.”Aduuuu Mbak, sakit” malam itu suasana terasa mesra dan menyenangkan. Sampai jam sebelas malam kami berdua ngobrol akrab. Sepertinya Mbak Yanti menunggu Mas Pras, tapi beliau tidak bilang apa-apa. Mbak Yanti sudah menguap dan masuk ke kamar tidurnya. Petromax saya matikan kuganti lampu tempel. Aku pun masuk kamar, segera tidur nyenyak dengan mimpi indah.

Aku tidak tahu bahwa jam dua belas malam Mas Pras datang. Dalam mimpiku aku bertemu cewek cantik. Cewek yg belum kukenal itu tanpa malu-malu mendekati aku dan menciumi aku. Bajuku dibuka lalu celana ku diturunkan. Aku sekarang tinggal memakai celana dalam. Dalam alunan musik dangdut cewek itu meluk-liuk kan tubuhnya mengikuti irama sambil melepas pakaiannya satu persatu. Kemaluanku menjadi tegang. Apalagi saat dia mendekat dan mengelus-elus penisku dengan lembut, rasanya nikmat sekali Tiba-tiba aku merasa sesuatu yang berat menimpa badanku dan kemaluanku terasa basah dan hangat. Kurasakan nafas hangat dan berat menyapu wajahku. Aku terbangun!

Mataku menatap kabur pada bayangan di atas wajahku di kamar ku yang gelap itu. Beberapa saat pandanganku menjadi jelas bahwa itu wajah Mbak Narsih. Aku bermaksud membuka mulut dan bertanya tetapi mulutku dibekap. “Ssssst……..!” beliau menyuruh aku diam. Badanku yang kecil itu merasakan beban yang lumayan berat dari tubuh wanita dewasa itu. Beliau jongkok dan bergerak naik turun. Penisku merasakan kehangatan di dalam lubang Mbak Yanti Ternyata apa yang terasa dalam mimpiku itu adalah kenyataan. Kini dengan sadar kurasakan kenikmatan itu. Nafas nya yang memburu menandakan beliau sedang dilanda nafsu birahi yang hebat.

“Kuuuun……puasi akuuuu…sayang…aku pengen di masukin sama kontomu yang gede sayaanggg…. “ beliau merebahkan diri di atas tubuhku dan berbisik di telingaku. Aku berusaha menahan berat tubuhnya. Badannya panas sekali. Bau keringatnya yang khas menyeruak membangkitkan nafsuku. Kudorong tubuhnya ke samping, kini aku berhadap-hadapan dengan beliau dalam posisi miring. Susunya yang bulat putih itu kuremas-remas, terasa hangat dan kenyal. Telapak tanganku terlalu kecil untuk memegang payudaranya yang padat bulat itu. sambil kusodok lubangnya dengan penuh semangat. Setelah beberapa saat posisi seperti itu kurang nyaman rasanya.

“Kamu……ssshhh. …kamu… di….ooouuh…di … atasssss…sayanggg aku lgi kecapean…..” segera kuturuti perrmintaan beliau. Aku merasa lebih leluasa melancarkan gerakanku. Kini aku mendengar music dangdut yang kudengar dalam mimpi tadi. Mbak Yanti menyalakan radio kecilku, yang gelombangnya tak pernah pindah dari radio swasta spesial dangdut. Kapan pula beliau masuk kamarku? Pertanyaan yang tak perlu dijawab, karena situasinya dalam keadaan “perang”.

Di kamarku yang remang-remang, kulihat di bawahku sesosok wanita cantik, yang berhari-hari aku rindukan kehangatan tubuhnya. Mbak Yanti merindukan kehangatan suaminya, dan aku ketagihan merasakan kehangatan tubuhnya. Meskipun keinginan itu menggebu, tapi aku tak berani meminta. Aku anak kecil. Aku hanya numpang hidup. Pokoknya aku di posisi yang lemah. Kini tiba-tiba saja kesempatan itu dating lagi.

Setelah memperoleh kesadaran penuh, timbullah dorongan hasrat yang sangat kuat. Aliran darahku terasa semakin cepat. O, Mbak Yanti, …… kamu adalah mimpi terindahku setiap malam. tusukanku semakin mantap. Kurasakan sudut-sudut liang rahimnya yang hangat. Memperoleh serangan balik yang dahsyat, Mbak Yanti memutar-mutar pantatnya.

Pandangan matanya liar, mulutnya menganga, kadang-kadang menyeringai menahan kenikmatan yang merambati ujung-ujung syarafnya. Wajah cantiknya berubah ganas dan buas. tetapi wajah itu tidak membuat aku takut, malah semakin terangsang. Aku sudah lupa, bahwa wanita cantik yang menggeliat-geliat di bawahku adalah wanita yang seharusnya kuhormati. Karena begitu bersemangat sampai tempat tidurku yang sempit itu berkereyotan menimbulkan suara berisik.

“Sssshh…. Jangan berisik….Kkkuuunnnh….hhffff….nan…ti…Mas Prassss…..bang…bang…ngun..” tersengal-sengal Mbak Yanti memberitahu aku. Hah? Ada Mas Pras? Edan tenan. Aku kaget sekali. Tak terasa gerakanku melambat dan berhenti.

“Ayooo….. kenapa….terusss…keburu bangun dia….” Diangkat-angkatnya pantatnya. Kembali kulancarkan seranganku semakin cepat. Kurebahkan tubuhku di dada nya yang putih dan empuk itu. Kini jelas kulihat wajahnya. Rambutnya awut-awutan. Napasnya yang panas menerpa wajahku. “Mas Pras sudah pulang Mbak?” tanpa menghentikan gerakan aku bertanya
“Sudah, Kun….. ah Masmu payah.” Kuhisap-hisap putingnya sambil kuremas bukit empuk yang putih itu. Tak tahan diisap dipeluknya tubuhku erat, sambil mencurahkan keluhan hatinya
“Aku belum apa-apa……Masmu sudah keluar…..langsung loyo dan tidur”
“Aku nggak bisa tidur, lalu nyetel radiomu. “ beliau berhenti ngomong lalu mencium bibirku.

Kami berciuman dalam kesunyian malam dan iringan irama dangdut. Suara radio ini dimaksudkan untuk menutupi “kegaduhan” di kamarku ini. Setelah bibir kami lepas. Aku turun dari tempat tidur diikuti Mbak Yanti. Beliau langsung berdiri membelakangiku, pantatnya yang besar itu disodorkannya. Sudut kemaluannya yang gelap itu kontras dengan bokongnya yang putih. Kuarahkan penisku ke sana. Karena terlalu naik, tangan beliau membantu menuntun ujung tongkolku ke arah yang tepat. Sleppp,,,,bleezzzz…..aacchhh….Lagi-lagi kurasakan kehangatan yang nikmat itu.

Kubenamkan semakin dalam. Lubang itu terasa lebih sesak sekarang..slleeppp…slleeeppp..blezzzz…. Belum pernah aku dalam posisi begini. Batangku yang panjang terasa bisa masuk lebih dalam. Mbak Yanti merintih keenakan. “Terusssss…….,Kun…..genjott,,,,terus memekku sayannggggg…..aahhh ….cepet….ayo kamu juga keluarin di memek mba sayannggg biar bias hamilll…..aacchhh kunnn mba mau keluarr  sayyaanngggg…..” Aku pun sampai di ujung perjalanan, makin lama makin cepat. Lubang Mbak Yanti kali ini sudah becek sekali
dan……”Kuuun…..aaaahhhhhhh…crooott…croooottt…nikkkmaaattt sayaanggg…..” dipeluknya aku dengan sangat erat dan penisku terasa dijepit oleh benda lembut dan hangat yg berkedut-kedut. Kubenamkan dalam-dalam kemaluanku dan memancarkan cairan hangat ke liang senggama Mbak Yanti.,,,crraaattt…crraaaattt….. Serrr….serrr…..ser…. Mbaaaakkkk……. Aduuuuh…..aku keluar.”

Beberapa saat kemudian beliau menghentikan semua gerakan , terduduk lemas di tepi tempat tidur,sambil mengecupku,,…makasih sayangg kamu benar,…benar hebat selalu bias muasin mba,.sama-sam mba aku juga. Setelah memperoleh kekuatan kembali, Mba yanti aku angkat sambil berjalan tanpa melepas sodokan kontolku di memeknya beranjak keluar, menuju ke kamar mandi. Aku duduk di sofa kamar tamu menunggu beliau keluar dari kamar mandi. Masih bertelanjang, Mbak Narsih kembali ke kamarnya.

Aku segera mencuci “peralatanku” dan kembali ke kamarku.
Aku duduk di tepi tempat tidur dan merenung. Ada apa ini? Kucoba untuk merangkai-rangkai berbagai kemungkinan. Mas Pras tengah malam pulang. Pasti beliau sangat lelah. Mbak Narsih yang lama menunggu kedatangan sang suami, mungkin minta “oleh-oleh”. Karena factor kelelahan atau sebab lain, tugas Mas Pras belum tuntas. Wanita yang haus ini sudah lama berpuasa, tentu nafsunya berkobar-kobar. Ibaratnya bertepuk sebelah tangan, Mas Pras masih lelah.

Lalu tidak mampu memberi kepuasan. Kira-kira begitu. Akibatnya, karena tidak puas, ibaratnya makan belum kenyang, lalu nambah. Mungkin, beliau ke kamarku, mempermainkan burungku, sehingga tegang. Begitu bisa dipakai, segera dimasukkan dan dipompa. Saat itulah aku terbangun. Aku juga tidak tahu penyebab sebenarnya. Aku tidak berani bertanya. Hanya saja badanku terasa pegal-pegal sekarang. Aku jatuh tertidur dan….. bangun kesiangan.

Aku takut keduluan Mbak Yanti. Segera aku bangun dan ke dapur menyalakan kompor. Merebus air dan mencuci beras. Untung, beliau masih tidur. Kalau kedapatan aku bangun kesiangan, semua pekerjaan pasti beliau selesaikan dengan cepat dan rapi.

Aku bisa mati langkah dan siap didiamkan berhari-hari. Lega rasanya. Sampai aku selesai mencuci pakaian dan nasi sudah masak mereka belum bangun. Aku ambil uang belanja di lemari dapur dan beli sayur ke warung. Pulang dari warung Mbak Yanti dan Mas Pras sudah bangun. Aku menyapa dengan sopan, “Mas,tadi malam ya pulangnya?”
“Heeh, gawekna kopi, le !” Mas Pras minta aku buatkan kopi. Kuseduh kopi kental tanpa gula. Itu minuman favorit nya. Kutaruh beberapa bongkah gula jawa di mangkuk kecil.

“Wah, pinter kamu Kun. Uenake.. kopi pait karo ngemut gula jawa.” Katanya sambil menyeruput kopi hitam itu. “O, iyaa… kamu jadi sekolah nggak?”
Aku tersenyum gembira, “ Jadi, Mas. Besok Senin Mas Pras masih di rumah?”
“Pokoknya sudah kuberikan dananya dibawa mbakyumu. Minta saja. “ maksudku kuminta Mas Pras antar aku cari sekolahan, tapi mungkin beliau sudah harus kerja lagi. Ya, sudah nggak apa-apa Yang penting aku pasti sekolah.

“Kenapa harus sama Mas-mu, malu ya dianter mbakyumu” tanya Mbak Yanti, biasa nadanya galak, aku sudah terbiasa dengan sifatnya itu.
“Mboten, Mbak “ aku menjawab sopan dan menyatakan bahwa diantar Mbak Narsih aku juga mau

Karena semua pekerjaaan pai itu sudah kelar. Aku kembali ke kamar, untuk…..tidur. Lelah sekali badanku setelah “berjuang keras” semalam. Dari kamar kudengar mereka terus berbincang-bincang.
“Dik, keliatannya berat badanmu tambah ya?” kudengar suara Mas Pras yang nge-bas.
“Kok tau?”
“Itu rokmu pada kesempitan.”
“Mas Pras, sekarang harus percaya. Harus yakin.” Sepertinya Mbak Yanti serius.
“Maksudmu kamu bener-bener bisa hamil?” masih datar suara Masku.

“Biar aja apa kata dokter, apa kata tabib, sinshe boleh berteori, Aku sudah berhenti 2 bulan lho Mas. Lihat, nih perutku. Lho, …tambah lebar. Wudelku…tambah monyong.” Kubayangkan, pasti Mbak Yanti, membuka roknya dan memamerkan perutnya yang putih mulus itu.
“Dik Yanti,……. Sungguh bahagia aku hari ini…..akhirnya aku bisa….oh…” tak ada lagi suara mereka bicara. Pasti mereka……kalau nggak berciuman ya berpelukan.

“Makanya, jangan lama-lama perginya, Mas” itu suara Mbak Yanti. Lalu sepi lagi. Peristiwa selanjutnya aku tak tahu, karena aku tidur sampai siang.
Tiga hari Mas Pras di rumah. Pagi itu dia harus berangkat. Jam lima pagi, kernetnya datang memberi tahu kalau muatan sudah dinaikkan. Sudah ditutup deklit ,tinggal berangkat.
“Kun, kamu cari sekolah yang deket-deket saja. Ngirit . Kalau bisa ar yang masuk siang, Biar ada yang membantu mBakyumu. Dia hamil, Kun. Aga Mbakyumu jangan sampai kelelahan.” Mas Pras berpesan sambil mengacak-acak rambutku dengan mesra.

“Inggih, Mas.” Saya antar sambil membawakan koper berisi pakaian Mas Pras ke truk yang sudah diparkir di ujung gang. Lik Tarjo, kernet setia, memarkir truk itu di situ.
Pagi itu juga aku diajak Mbak Yanti mencari sekolah buat aku. Aku pakai seragam SMA dan Mbak Yanti …….. ya ampun….. cantik banget. Pakaiannya sederhana, tapi cocok sekali dengan kulitnya dan tubuhnya yang tinggi semampai. Rambutnya yang agak kemerahan, menambah cantik wajahnya yang oval dihiasi biabir tipis, hidung bangir dan bulu mata yang lentk.

Aku malu pada diriku sendiri , Ada sebuah sma Swasta di jalan Raden Patah. Masuk siang. Tidak jauh dari rumahku. Di kantor SMA itu Mbak Yanti menjadi pusat perhatian para guru, terutama bapak-bapak guru. Kalau kepergok Mbak Yanti mereka sedang memandangi dengan kagum, mereka terenyum ramah. Yang tidak enak kalau mareka melihat aku, pasti dengan pandangan curiga. Kalau adiknya kok tidak mirip. Kakaknya cantik, adiknya jelek, gelap lagi. Tetapi kalau pembantunya kok selalu digandeng . Mungkin begitu yang mereka pikirkan. Saat wawancara kulihat Bapak Guru yang berkaca mata minus itu berkali-kali melirik ke belahan dada, Mbak Yanti yang terlihat , karena bajunya berkerah lebar dan rendah. Kalau Mbak Yanti tertawa, dadanya terguncang-guncang, Bapak Guru itu ikut-ikutan tertawa. Tetapi matanya selalu ke dada itu lagi. Dasar lelaki. (Eh, aku laki-laki juga, ya)

Aku tidak peduli. Yang penting aku sekarang sekolah lagi.
Bulan Juli, aku sekolah lagi. Sementara itu perut Mbak Yanti sudah semakin besar. Banyak pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan lagi. Satu-satunya yang wajib dikerjakan adalah mengepel lantai. Menurut Bulik Saodah tetangga depanku, itu baik untuk proses persalinan nanti. Jam sebelas pagi, semua pekerjaan harus sudah selesai. Karena jam setengah dua belas harus berangkat sekolah. Jalan kaki lewat Pengapon, lewat Pasar Kobong, sampai sekolah sekitar setengah jam.

Praktis tenagaku sudah terkuras habis paginya. Di sekolah tinggal sisa-sisa tenaga. Erring aku berjuang keras melawan rasa mengantuk yang tak tertahan saat jam pelajaran. Sisi baiknya mengulang di kelas yang sama terasa amat mudah. Apalagi SMa swasta itu menurut penilaianku levelnya jauh di bawah SMa ku. Senang sekali bisa bersekolah lagi. Karena aku dikira anak pandai, banyak yang suka bertanya peer. Kalo ulangan pada minta contekan. Pokoknya seru, deh.

Pulang sekolah sampai di rumah hampir maghrib. Melihat rumah gelap, yang pertama kulakukan adalah menyalakan lampu pompa. Aku kasihan sama Mbak Yanti. Beliau nggak bisa menyalakan lampu Petromax. Masih berpakain seragam, kutengok keadaan dapur, jemuran dan kamar mandi untuk mengetahui mana yang belum beres. Tetapi semua sudah rapi, kecuali air di kamar mandi kosong. Aku menimba air memenuhi bak mandi.

“Wis Kun, nanti saja ngisinya. Kamu lelah.” Lemut sekali beliau menyapaku.
“Cuma untuk mandi aku, kok Mbak.” Aku segera mandi. Rutinitas seperti itu terjadi setiap hari.
Aku biasa mengerjakan peer dan belajar sampai malam. Jarang aku bisa ngobrol-ngobrol lagi. Aku benar-benar tenggelam dengan situasi baruku. Banyak guru yang kukenal baik dan mereka suka padaku. Sebenarnya aku biasa-biasa saja. Tetapi karena banyak teman yang bodoh dan nakal, maka di situ aku dianggap anak yang sopan dan pandai. Aku semakin merasa diterima . Aku sebenarnya melupakan sesuatu karena kesibukan sekolahku itu. Mbak Yanti.

Dengan perutnya yang semakin membesar beliau sering menemani aku mengerjakan peer atau belajar. Sering beliau mengajak bicara, tetapi aku menjawab seperlunya, karena aku konsentrasi ke pelajaran.
Saat itu sedang banyak ulangan. Aku sedang tenggelam dalam keasyikan belajar. Kuakui aku memang kutu buku. Matematika adalah pelajaran favoritku. Aeperti biasa, beliau duduk di sampingku, aku sibuk menulis dan mngerjakan soak-soal atau menjawab peer. Aku heran, kenapa sejak tadi Mbak Yanti tidak bertanya. Aku merasa ada yang tidak wajar.

“Mbak, kalau sudah ngantuk sare dulu, to?” aku berbasa-basi sambil menoleh. Aku terkejut melihat mata beliau basah. Air matanya mengalir di piinya yang sekarang tampak tembem.
“Mbak,……………….kenapa?” aku menghentikan aktifitasku.
“Nggak apa-apa. teruslah belajar, kamu memang anak rajin, tekun dan baik.” Jawabnya diserati isak tangis tertahan. Apa maksudnya, ya?
“Kamu dan Mas Pras sama saja, ya. Semua sibuk.” Kini tangisnya pecah. Aku bingung. Sebagai anak-anak aku belum bisa memahami perlunya memberi perhatian pada orang tua. Tetapi kini aku sadar, bahwa selama ini, aku melupakan kehadiran Mbak Yanti. Hatiku tersentuh oleh isak tangisnya. Secara naluriah kupegang tangannya. Kugenggam erat.

“Mbak……. Maafkan Kun. Aku bener-bener keterlaluan. Aku salah, Mbak…..” tak bisa kulanjutkan kata-kataku. Dadaku penuh keharuan. Mataku jadi panas dan basah. Kupeluk beliau dengan penuh perasaan menyesal. Mbak Yanti tetap menangis dan sikapnya pasif sekali. Kucium tangannya, kuciumi pipinya diaaaam saja. Aku menjadi serba salah. Karena malam semakin larut dan Mbak Yanti tidak juga masuk kamar, masih tetap duduk di sofa. Aku ambil inisiatif. Kuambil selimut dan bantal. Kurebahkan beliau di sofa. Menurut saja. Kuselimuti diam saja. Malam itu aku menunggui beliau tidur di sofa, aku tidur di karpet di bawah sofa. Subuh pagi aku dibangunkan, disuruh mengantar ke kamar mandi. Kutuntun beliau. Tanpa menutup pintu beliau langsung mengangkat daster dan jongkok. Soorrrrrrr….
Aku jadi tau, bahwa orang hamil itu suka bermanja-manja. Suka minta yang aneh-aneh. Mulai hari itu aku lebih banyak memperhatikan keadaan beliau.
“Kun, aku pengin dimandiin seperti waktu aku sakit dulu itu, lho”
“Baik, Mbak.” Aku siapkan air hangat dan lap pel. Kumasukkan kursi kayu ke kamar mandi.
Tanpa ada rasa malu sedikitpun beliau langsung telanjang di hadapanku. Lucu juga melihat bentuk tubuhnya. Perut maju, pantat semakin lebar. Putting susu jadi hitam dan lebar kini bongkahan bukit kembar yang putih itu semakin melebar saja. Kupandangi semuanya itu dengan penuh kekaguman.

Apa bisa orang hamil itu “digituin” ya? Aku berpikiran ngeres. Badanku terasa panas dan penisku semakin mengeras. Kini beliau sudah duduk. Segera kuguyur tubuhnya dengan air hangat. Tibunya kini bercahaya bagai dilapisi kaca. Kusabuni punggungnya. Pantatnya,. Penginnya aku menyabuni bagian depan. Susunya sangat menantang untuk disentuh, tapi aku masih jaim.

Mbak Yanti rupanya tidak sabar dengan sikapku yang sok jaim itu. Dipegangnya tanganku yang membawa sabun. Di arahkan ke dadanya. Saat kusabuni, benda kembar itu terayun-ayun. Aku tau beliau paling suka kalau sambil diremes, Bener juga, beliau mendongak ke atas menahan nikmat.
Kini tangaku berada diperut beliau. Aku jongkok di hadapan beliau. Kemaluan beliau Nampak jelas. Ditumbuhi rambut jarang. Kusabun perutnya dulu, makin lama makin turun. Akhirnya sampailah jariku di tepi “hutan” Tak sabar jariku segera menyentuh si merah kecil. Begitu kena sentuhan, desisnya semakin jelas terdengar. Ketika aku berdiri mengambilkan sabun, tiba-tiba langkahku tertahan karena celanaku diturunkan, padahal aku sedang tidak mengenakan CD.

“Kamu duduk di situ.” Mbak Narsih berdiri. Aku duduk di kursi dengan batang tegak teracung.
Mbak Yanti pelan-pelan mengarahkan pantatnya dan duduk dipangkuanku.
“Lho, Mbak…….nggak apa-apa?” tapi sebagai jawaban pantat nan putih itu semakin turun. Satu tangan beliau memegang penisku mengarahkan ke lubangnya. Masuknya “si hitam” ke lubang kenikmatan itu disertai desisan yang punya lubang. “Oohhhh….sssssh” Pantat beliau naik turun diiringi bunyi crop…crop….crop…..

“Enak…..banget sayaannnggg,…aku udah gatelll sayangg…lama.gak di masukin punyamu…..hhh….hhh…..hhhh…..”
Aku mengambil gayung lalu kuguyur badannya yang penuh sabun itu. Aliran air hangat itu menambah nikmat persetubuhan aneh itu. Kuguyur lagi sambil kugosok punggung dan pundaknya. Begitu terus menerus sambil aktif naik turun beliau tetap kumandikan. Dari pantulan cermin di kamar mandi, kulihat susunya terayun-ayun indah saat pantatnya aktif naik turun. Kedua tanganku meraih kedua bukit kembar itu. Kubelai-belai dan kupelintir puting hitam besar itu.

“Aaaahhhh……terussss….kamu pinter….sayannggg,,,…Kun…..” gerakan naik turunnya melemah, kelelahan juga akhirnya. Sekarang Mbak Yanti duduk di bibir bak mandi yang cukup rendah dan lebar. dibukanya lebar-lebar kedua pahanya. Lubang kenikmatannya yang sudah amburadul itu menganga. Sikunya bertelekan di tembok. Sambil berdiri kumasukkan lagi “tongkat ajaib” yang disukai Mbak Yanti itu. Dalam posisi tengadah seperti itu kukira lubang itu akan semakin lebar dan kendor. Tetapi aneh, malah tambah seret dan menggigit. Kamar mandi itu menjadi ajang “pertempuran aneh” Perutnya yang membuncit bergoyang-goyang saat kusodok-sodok. Baru tau aku sekarang. Ternyata orang hamil, masih suka “main”, Menurutku malah lebih “hot”
“Kuuuuunnn….. jangan …..tinggalkan Mbak Yanti ……”
“Tidak lagi…Mbak.”
“Addduuuuu……terusss  saaynngggg sooodokk memekkku..aacchhh…….enaaaaakkkkk…….”
“Mbaaaaak……. memekmu…..anget banget, Mbak……..”
“Teruussss……yang dalam…..dalam…….”
“Mbaaaakkkk…..aku nggak tahan lagi…….ayo Mbaak.”
“Ooohhhh….ssshhh……aku….aku……juga……hampiiiiirr…keluarr….Ku uun”
Mbak Yanti memutar-mutar pantatnya dan aku menghunjam semakin dalam. Gelombang kenikmatan datang bergulung-gulung…….nafas kami berdua terpantul berisik oleh dinding kamar mandi beratap seng. Keringatku membanjir demikian pula Mbak Yanti. Bau sabun wangi yang bercampur bau keringat menimbulkan suasana aneh yang sangat merangsang.

Akhirnya tak kuat lagi kami menahan datagnya tsunami kenikmatan itu. Pancaran spermaku terasa deras menyemprot dinding rahim beliau yang juga banjir. Karena licin, tubuh Mbak Yanti kepleset nyemplung utuh ke bak mandi. Untung bak mandinya rendah dan berisi penuh air, sehingga tidak terasa sakit,akupun langsung ikut nyemplung kebak mandi,..tanpa henti tangan mba yanti menarik kontolku masuk ke memeknya ,,….sleppp…beezzz…aacchh…nikmaatt…setelah kami sam-sama muncrat,akhirnya. Kubantu untuk mentas. Kini aku sendiri mandi jebar-jebur membersihkan diri. Mbak Yanti membantu menggosok punggungku. Handuk kita pakai berdua. Masih bugil, kutuntun Mbak Yanti ke kamarnya. Beliau tidak ambil ganti pakaian malah tiduran. Aku ditariknya untuk ikut tidur. Padahal sudah jam setengah sembilan pagi.

“Kun……..bawa sini manukmu……”
“Mau apa Mbak…..”
Tak banyak bicara…. Segera mulutnya menciumi burungku yang kini tegang lagi. Melihat benda ini bertambah panjang dengan cepat, tak sabar Mbak Yanti memasukkan ke dalam mulutnya. Aku jadi berkelojotan. Rasanya geli-geli nikmat…..
“Kun, puasin aku….sayangg. Kamu biarkan Mbak Yanti kesepian sejak kamu sekolah. Ayo hari ini kamu nggak boleh masuk.” Di bimbingnya kontolku masuk kememeknya,,..sleeppp…bleezzzz…..aacchhh…sayaaanngg genjottt terusss,,,,ssayannng  puasin mba….sayannnggg…..sambil maju mundur ku pompa memek mba Yanti yang udah basah oleh cairan birahi…..aaahhh,….sayaannggg mba mau keluarrr…sayanggg…..dan akhirnya ….crroooottt…crooott..keluarlah cairan kenikmatan Mba yanti…di barengi dengan semprotanku di dalam memeknya.cratttttt….cratttt…achhh…..

Memang benar-benar gila sex wanita satu ini…dalam keadaan hamil, Pagi itu aku melayani beliau sampai jam sebelas. Sambil bermalas malasan Mba  yanti masih tetap memelukku.
  Setelah berselang beberapa bulan Akhinya lahir anak Mba yanti yang mirip denganku.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

 INDKASINO  GOYANGPOKER
POKERMAS99
AGEN CASINO ONLINE DEPOSIT KLIK DISINI
ASIANPOKER88 10.000 Daftar
INDPOKER88 10.000 Daftar
POKERMAS99 10.000 Daftar
POKERMAS88 10.000 Daftar
SENANGPOKER 10.000 Daftar
RAJADOMINO88 10.000 Daftar
POKERJEMPOL 10.000 Daftar
GOYANGPOKER 10.000 Daftar
RAJACASINO88 25.000 Daftar
RAJATOGEL88 10.000 Daftar
INDKASINO 20.000 Daftar
REZEKIBOLA 25.000 Daftar

Featured Post

Cara Membuka Situs Web yang Diblokir Internet Positif di PC (Komputer/Laptop)

DuniaJudi69 - Internet merupakan sumber pengetahuan dan ada banyak informasi yang dapat kita peroleh, banyak dampat positif yang kita pe...

Arsip Blog

Recent Posts